Friday, February 10, 2012

SEBUAH KERINDUAN


By : Aris Wada

Hari ini aku akan ke Denpasar. Ada teman di Denpasar yang mengabarkan padaku bahwa ada satu bangunan besar yang akan dibangun. Katanya, proyek tersebut membutuhkan banyak tenaga. Sebenarnya, aku baru beberapa hari lalu menyelesaikan sebuah bangunan di Surabaya. Dan sekarang lagi nganggur, jadi kuputuskan untuk berangkat ke Denpasar.
Kunaiki sebuah bus jurusan Denpasar yang sudah menunggu penumpang di blok pemberangkatan terminal bus. Bus itu hampir penuh oleh penumpang dari berbagai umur. Hanya ada tiga tempat duduk yang kosong. Kulangkahkan kakiku menuju salah satunya. Seorang lelaki yang duduk di sebelah tempat duduk yang kutuju menoleh kearahku ketika kulekatkan pantatku pada tempat duduk yang butut itu. Ia tersenyum. Aku membalas senyumnya.
“Mau ke mana?” tanyanya santun.
“Ke Denpasar,” jawabku sambil berusaha membalas santunnya. “Anda?” aku balik bertanya.
“Kebetulan, saya juga mau ke Denpasar.”
“Oh,” aku mengangguk sambil melepas jaketku. Udara sangat panas. Rasa gerah merayapi seluruh tubuhku. Kubuka kancing atas kemejaku, lalu kukipasi dadaku. “Ah, panas sekali udara hari ini,” kataku sambil terus mengipasi dada.
”Iya, ya.” Lelaki itu diam sejenak. “Entah kapan kemarau panjang ini berakhir,” ia melanjutkan bicaranya.
”Mungkin sampai kita semua mati kepanasan,” jawabku dengan maksud bergurau.
Dan, begitulah. Obrolan kami terus mengalir. Hingga tak terasa, bus sudah cukup jauh meninggalkan terminal kota. Tapi, obrolan kami semakin seru. Obrolan itu telah membuatku mulai mengenal kehidupannya. Aku mulai mengenalnya lebih dekat. Namanya Umbu. Umurnya tidak jauh beda denganku. Ia orang Sumba. Tapi setelah lulus SMA di Sumba, ia merantau ke Jember guna melanjutkan studinya. Setelah lulus ia bekerja pada sebuah perusahaan swasta di Surabaya. Ia anak yatim. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Umbu adalah anak tunggal. Kini, sudah sepuluh tahun ia meninggalkan ibunya di kampung. Waktu sepuluh tahun telah membuatnya tak mampu menahan kerinduan kepada sosok perempuan yang telah melahirkannya itu. Dan, hari ini ia ingin kembali ke pelukannya.
“Tentu ibuku sudah sangat tua sekarang,” katanya.
Selama sepuluh tahun pula, Umbu tidak pernah mendengar kejelasan tentang kabar ibunya. Tapi, yang membuat aku heran sekaligus kagum, dalam ketidakjelasan kabar tentang ibunya itu, Umbu sangat yakin kalau ibunya masih hidup.
“Saya hanya mengirimi ibu sedikit sisa gaji setiap bulannya. Namun saya tidak pernah mengiriminya surat atau telegram,” Umbu melanjutkan ceritanya sambil menatap kosong ke luar kaca jendela bus. Ada setitik air dari sudut kelopak matanya.
“Anda tidak pernah mengiriminya sepucuk surat pun?” aku bertanya penasaran.
”Ya. Soalnya Ibu saya buta huruf,” jawabnya singkat sambil berusaha menahan airmatanya.
Aku jadi teringat ayah dan ibu di kampung. Mereka juga buta huruf. Mereka sangat bersemangat untuk menyekolahkan aku yang semata wayang ini. Mereka sangat berharap aku bisa mencapai gelar sarjana. Tapi, aku terlalu yakin dengan idealismeku bahwa orang pintar bukan hanya dicetak oleh sekolah. Banyak sarjana yang nyatanya bodoh. Toh aku bisa membaca buku di rumah. Buku bisa membuat aku pintar. Baca buku bukan hanya di sekolah saja, bukan? Begitulah, idealismeku itu membunuh diriku sendiri dengan pelan-pelan, layaknya bahaya laten. Aku hanya tamat SMU, dan itu pun dengan tertatih-tatih. Setelah menganggur, aku hidup dengan penuh penyesalan. Banyak temanku yang sudah berhasil. Sementara aku hanya bisa menyiapkan telinga yang tebal untuk mendengar kemarahan ayah dan ibu. Ditambah lagi dengan gunjingan para tetangga di kampung. Aku jadi malu pada ayah dan ibu, juga para tetangga. Maka untuk menyelamatkan mukaku, aku pun merantau ke kota.
Di kota ternyata sangat sulit memperoleh pekerjaan. Hampir semua lowongan pekerjaan bersyarat diploma atau sarjana, plus kursus-kursus. Kalau pun ada yang bersyarat ijasah SMU, itu hanya untuk pekerjaan kelas kasar yang gajinya tidak cukup untuk biaya hidup seminggu. Maka, aku putuskan untuk kerja apa saja alias serabutan. Kerja yang tidak memerlukan ijasah, tapi hasilnya, ya bisa dikatakan, lebih mendingan dari pekerjaan yang bersyarat ijasah ini itu.
“Ibu Anda kan bisa minta bantuan kerabat atau tetangga untuk membacakan surat dari Anda?” aku melanjutkan pertanyaanku.
“Ya. Memang bisa. Tapi, ibu saya adalah tipe orang yang paling tidak suka mengumumkan keadaan anaknya yang sedang merantau. Ibu saya takut dikira pamer oleh tetangga. Ibu pernah berkata bahwa Ibu akan bekali aku dengan doa saja. Kalau aku mau titip pesan, aku titip saja kepada Tuhan. Karena Tuhan pasti menyampaikan pesanku itu lebih cepat dari tukang pos. Ibu pun berkata bahwa dia akan selalu mendoakanku. Begitulah nasihat ibu ketika aku menyampaikan niatku untuk berkirim kabar setiap bulannya.”
Umbu diam. Aku pun diam. Yang terdengar hanya gemuruh mesin bus dan beberapa obrolan penumpang lain.
”Kini sudah sepuluh tahun saya merantau,” Umbu melanjutkan ceritanya. “Saya ingin kembali ke kampung halaman. Saya hendak mengabdikan diri kepada ibu, membalas budi perempuan yang telah melahirkan saya. Walaupun budi ibu tidak bisa dibalas seluruhnya, tapi setidaknya, menurut saya, ada yang menemani ibu dalam menjalani sisa hidupnya. Ada saya yang mengambilkannya tongkat ketika ibu turun dari ranjang. Ada saya yang menyuapinya nasi yang berasal dari uang hasil jerih payah saya sendiri. Saya hanya ingin membahagiakan dan membahagiakan ibu di hari tuanya. Karena sudah sekian tahun, belum ada satu hal berarti yang pernah saya berikan kepadanya. Saya merasa amat berdosa. Saya merasa telah menjadi anak yang paling durhaka di dunia ini.”
Aku hanya terharu oleh ceritanya. Tapi, lubuk hatiku, aku sangat tersentuh. Aku ingat ibu dan ayah. Ayah, Ibu, maafkan anakmu yang durhaka ini. Aku teriak dan menangis dalam hati. Rasa berdosa kepada kedua orangtuaku semakin memuncak. Aku jadi malu bila harus menceritakan apa yang telah aku lakukan kepada kedua orangtuaku. Di hari tuanya, mereka masih bersemangat membanting tulang untuk mencari makan. Aku yang menjadi satu-satunya tumpuan hidup bagi mereka, malah hanya membebani mereka saja. Aku tidak pernah mengirim sedikit pun hasil jerih payahku kepada mereka. Bahkan, aku sering menerima kiriman uang dari mereka. Pernah suatu kali aku menerima titipan uang dari kampung. Kabarnya, hasil menjual kerbau. Oh, Tuhan betapa berdosanya aku ini.
“Pernah selama dua bulan saya tidak mengirimkan uang ke kampung. Krisis ekonomi membuat gaji saya tidak cukup untuk membeli keperluan sehari-hari. Saya bingung. Ke mana saya harus mencari uang untuk dikirim ke kampung? Ibu pasti sudah tidak punya uang untuk beli beras atau ikan asin. Waktu itu, tabunganku pun sudah habis. Mau pinjam pada teman, saya malu. Akhirnya saya jual televisi. Saya kirim seluruh hasilnya ke kampung. Itu pun tidak seberapa, karena itu televisi kuno yang hampir tidak laku lagi. Saya bayangkan, kalau ibu tidak punya uang, ia pasti membuat tikar untuk dijual. Karena di rumah tidak ada lagi barang yang bisa dijual. Saya dapat rasakan bagaimana ibu begadang setiap malam untuk membuat tikar, lalu esoknya beliau terbungkuk-bungkuk dibantu sebuah tongkat kayu membawa tikar itu ke pasar untuk dijual. Bayangkan, betapa besar dosa saya sebagai anak di kala seperti itu.”
Airmata Umbu turun dari sudut kelopak matanya, menyusuri pipinya, lalu jatuh di pangkuannya. Aku semakin terharu. Rasa berdosa kepada ayah dan ibu terus memuncak seiring gemuruh mesin bus yang terus melaju. Airmataku pun hampir menetes, tapi segera aku usap dengan tanganku.
“Tapi, sudahlah,” Umbu hendak mengakhiri ceritanya sambil mengusap airmatanya dengan selembar saputangan berwarna biru gelap. “Saya hanya berharap, kedatangan saya kembali ke kampung untuk menemani dan membahagiakan ibu dapat menutupi sedikit dosa saya.”
Aku hanya mengiyakan pendapatnya itu.
”Ah, saya jadi terlalu banyak bercerita. Anda kelihatan mengantuk. Tidurlah! Toh terminal bus Denpasar masih jauh.”
“Anda juga kelihatan letih. Istirahatlah, biar di kampung nanti Anda lebih segar. Toh setelah sampai Denpasar, anda masih harus menempuh perjalanan yang jauh,” saranku.
Begitulah. Akhirnya kami sama-sama terlelap dengan mimpi masing-masing, tak menghiraukan guncangan bus yang kadang-kadang bisa membenturkan kepada kami berdua. Aku terbangun ketika kernet bus mengguncang-guncang pundakku meminta ongkos. Umbu masih lelap sekali. Terminal Denpasar masih agak jauh, jadi aku putuskan untuk tidak membangunkannya. Kuambil dompet dari saku celanaku. Kuperhatikan isinya. Masih cukup untuk hidup seminggu di Denpasar. Lalu kuputuskan untuk sekalian membayar ongkos bus Umbu. Aku juga putuskan untuk tidak melanjutkan tidurku. Aku terus merenung, memikirkan seluruh sikap dan perbuatanku kepada ayah dan ibu. Cerita Umbu telah melahirkan sebuah penyesalan yang amat mendalam dalam hatiku. Seluruh pikiranku hanya dipenuhi oleh penyesalan. Aku terus menyebut nama Tuhan. Meminta ampun barang sedikit saja. Aku amat menyesal. Penyesalan itu terus melarut pikiranku hingga bus memasuki gerbang terminal Denpasar.
Bus berhenti. Semua penumpang berhamburan turun. Sebelum berkemas, aku mau membangunkan Umbu yang masih lelap tertidur. Tampaknya ia sangat lelah. Aku jadi sungkan membangunkannya. Tapi, apa boleh buat, bus sudah sampai di terminal tujuan. Aku mengguncang pundaknya. Tapi ia tak kunjung bereaksi. Ah, lelap sekali dia, pikirku. Seluruh penumpang sudah turun. Hanya tinggal kernet dan sopir yang sibuk menghitung uang hasil jerih payah mereka.
“Umbu, kita sudah sampai,” kataku sambil terus mengguncang pundaknya.
Tak ada reaksi.
”Umbu! Umbu!”
Tetap tak ada reaksi. Kupegang pergelangan tangannya, ternyata sudah tak ada denyutan. Tapi ada senyum di bibirnya. Senyum yang membahagiakan ibunya di kampung sana. Jiwanya sudah terbang menuju Sumba dan meninggalkan jasadnya di dalam bus, di atas sebuah kursi. (***) Penfui, 1 Januari 2008. Untuk sahabatku Arnoldus Doni Werang di Denpasar.